gambar dari nuonline |
Belum
lama ini, dunia maya mengagetkan dunia nyata. Ada video viral yang
menggambarkan sejumlah santri sedang antre vaksin menutup telinga saat musik diputar.
Lantas muncul berbagai pertanyaan di dunia nyata tentang hukum musik. Seperti
biasa, pro dan kontra masyarakat adalah suatu hal yang wajar tak terhindar.
Saya
pun mendapat berbagai pertanyaan yang masuk lewat WhatsApp bahkan ada yang
secara langsung. Ada yang menanyakan itu pesantren mana, hukum mendengarkan musik itu bagaimana. Dan lain masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Tentu saya jawab pertanyaan itu dengan ala santri dan berdasar pada pengalaman
saya ketika menjadi santri.
Di
beberapa pesantren yang pernah saya kunjungi, ada yang justru musik adalah bagian
dari mengaji. Ada pesantren yang mengajarkan santri-santri bermusik, seperti
memainkan musik gambus. Di mana pesantren itu mempelajari beberapa alat musik
dan lagu-lagu hits masa kini. Sehingga, musik bisa sebagai alat dakwah yang
sesuai zaman. Biasanya pesantren-pesantren model ini memiliki keunggulan di
bidang kesenian.
Di
pesantren lain, saya mendapati musik sebagai penyemangat. Dulu, sewaktu saya
nyantri di salah satu pesantren
di Jogja, ada kegiatan yang seolah-olah wajib pakai
musik dangdut. Kegiatan itu disebut roan massal, seperti roan mengecor. Para
santri yang ikut nampak semangat meski roan sudah berlangsung dari pagi hingga
siang.
Terkadang,
sesekali para santri menyempatkan ikut goyang mengikuti irama musik dangdut itu
sembari menyanyikan. Tentu, hal itu sangat menghibur diri dan teman santri yang
lain. Sehingga para santri lupa dengan capeknya dan terus semangat roan. Jika
para santri semangat, otomatis roan segera rampung. Bayangkan, roan berat begitu malah main musik religi
atau malah murotal? Para santri pasti tidak akan betah roan dan semangat mereka
pasti cepat habis.
Lain
lagi di pesantren salaf, saya bahkan hampir tidak mendengarkan musik apapun.
Tetapi, di sana memang kegiatan santri sudah padat, full time. Roan saja
tidak sering, justru lebih sering mengaji. Pesantren semacam itu lebih fokus
dalam kajian ilmu agama. Kalau ada pembangunan, roan, mungkin sudah biasa
ditangani oleh tukang. Sehingga, para santri tinggal fokus mengaji saja.
Apakah
seperti itu salah? Tidak juga. Setiap pesantren memang memiliki ciri khas dan
metode masing-masing. Kita tidak bisa membandingkan satu pesantren dengan
pesantren lain. Setiap pesantren memiliki keunggulannya sendiri-sendiri.
Pesantren tidak seperti sekolah umum yang berada di sangkar pemerintah.
Pesantren itu bebas. Pengasuh, sang kiai, boleh mengatur sedemikian rupa agar
para santri sukses. Termasuk boleh
tidaknya mendengarkan musik.
Nah,
di pesantren terakhir yang saya tinggali malah lebih luwes mengatur aturan
bermusik. Kami, santri yang sudah sampai di jenjang pendidikan perguruan tinggi
boleh membawa HP dan laptop. Karena di kampus para santri memiliki banyak tugas
dan kewajiban sebagai mahasiswa juga. Belum lagi, ketika aktif di berbagai
organisasi.
Suatu
ketika, saya sedang asyik tidur sambil mendengarkan musik favorit saya. Sebab,
seharian baru ada acara di kampus. Tentu saya lakukan agar rilek dan biar
pikiran tidak stres karena tugas. Jadi, setelah jamaah salat Isya saya sengaja
langsung tidur sambil play musik favorit saya di Youtube.
Seperti
biasa, pengurus melakukan oprak-oprak membangunkan para santri agar salat
Tahajud sebelum azan Subuh berkumandang. Kebetulan kamar saya adalah kamar
santri mahasiswa, yang mayoritas juga habis mengikuti acara full time di
kampus. Tentu, karena masih terasa capek dan berat, kami susah dibangunkan,
bahkan beberapa dari kami tidak bisa dibangunkan.
Ketika
azan Subuh berkumandang, ternyata bapak kiai muter juga untuk mengecek kamar.
Dan kami berempat pun masih tertidur pulas sambil mendengarkan musik dengan
earphone masih terpasang di kedua telinga. Akhirnya, seluruh HP kami disita
beliau. Dan kami pun bangun. Lalu, usai jamaah Subuh, beliau memberikan dawuh
baru.
"Semua
santri dilarang mendengarkan musik pop, nyetel musik selain murotal tidak
boleh. Kecuali kantin sama pas roan saja. Santri yang ketahuan meskipun
mahasiswa alat lahwinya akan disita."
Kini,
semua santri dilarang memainkan musik pop kecuali di tempat roan dan kantin.
Selain itu, hanya musik qasidah, muratal, dan sejenisnya, yang boleh dimainkan.
Bahkan aturan ini berlaku untuk santri mahasiswa juga. Mereka tidak boleh
memainkan musik pop saat mengerjakan tugas selain shalawat qasidah.
Dari
cerita di atas, saya menyimpulkan bahwa hukum memang sesuatu yang dapat berubah
sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlangsung. Kita tidak bisa gebyah uyah
begitu saja. Layaknya saat Covid-19 ini, ada daerah yang memutuskan lockdown
mandiri, ada yang mengikuti PSBB, ada yang PPKM. Semua itu diputuskan untuk
kemaslahatan suatu daerah. Iya, 'kan (?)
0 Komentar