Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam seluruh kegiatan pendidikan. Misalkan menentukan proses pelaksanaan dan hasil belajar. Mengingat hal tersebut, penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Tentuya membutuhkan landasan yang kuat yang didasari oleh pemikiran dan penelitian yang mendalam.   Makalah kami ini akan mencoba menguraikan tentang “Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum”.

B.     Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.      Apa maksud dari landasan, filosofis, dan psikologis?
2.      Bagaimana landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum?
3.      Bagaimana landasan psikologis dalam pengembangan kurikulum?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisannya adalah untuk menambah wawasan mengenai:
1.      Pengertian landasan, filosofis, dan psikologis
2.      Landasan filosofis pengembangan kurikulum
3.      Landasan psikologis pengembangan kurikulum


BAB II
LANDASAN FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

A.    Pengertian Landasan, Filosofis, dan Psikologis
Landasan dapat diartikan dasar, alas, atau bantalan. Selanjutnya, kata Filosofis (Filsafat) bararti pengetahun dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumya. Juga bisa diartikan dengan ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemology. Sedangkan arti Psikologis adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku (ilmu jiwa). [1]
  
B.     Landasan Filosofis
Secara bahasa, Filosofis (Filsafat) dapat diartikan dengan cinta akan kebijakan. Orang yang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara bijak. Berfilsafat juga sering disebut dengan berpikir secara radikal, berpikir sampai ke akar. Orang yang bijak harus memiliki pengetahuan. Pengetahuan akan didapatkan dari berpikir secara mendalam. Selanjutnya, berpikir secara mendalam ini disebut sebagai pemikiran radikal.
Sebagai induk dari semua pengetahuan (the mother of knowledge), filsafat dapat dirumuskan sebagai kajian tentang:
a.       Metafisika, yakni studi tentang hakikat kenyataan atau realitas
b.      Epistemologi, yakni studi tentang hakikat pengetahuan
c.       Aksiologi, yakni studi tentang nilai
d.      Etika, yakni studi tentang hakikat kebaikan
e.       Estetika, yakni studi tentang hakikat keindahan
f.       Logika, yakni studi tentang hakikat penalaran[2]
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia, termasuk masalah pendidikan. Kemudian muncul Filsafat Pendidikan. Donald Butler mengungkapkan, filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktis pendidikan, sedangkan praktik pendidikan memberiakan bahan bagi pertimbangan filosofis.
John Dewey mempunyai pandangan yang hampir sama dengan Donald Butler. Bagi Dewey filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama. Dalam Filsafat Pendidikan juga dikenal banyak pandangan dan aliran. Setiap landasan memiliki landasan metafisika, epistemilogi, dan aksiologi tentang maslah pendidikan yang berbeda.

1.      Dasar Filsafat Dewey
Cirri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu berubah, mengalir, atau on going-ness. Filsafat Dewey lebih berkenan dengan epistemologidan tekanannya terhadap proses berpikir. Proses berpikir merupakan salah satu dengan pemecahan yang bersifat tentatif, antara ide dan fakta, antara hipotesis dan hasil. 
Tujuan perkembangan manusia adalah self realization. Yaitu, suatu yang kongkret bersifat empiris tidak dapat dipisahkan dari pengalaman dan lingkungan. Hanya saja dapat diperoleh melalui pengalaman dan interaksi dengan yang lain.

2.      Teori Pendidikan Dewey
Pendidikan menurut John Dewey adalah perkembangan dari sejak lahir sampai menjelang kematiannya. Sehingga, pendidikan juga dikatakan kehidupan. Proses pendidikan bersifat kontinu, merupakan reorganisasi, rekontruksi, dan pengubahan pengalaman hidup.
Pendidikan merupakan reorganisasi dan rekontruksi yang konstan dari pengalaman. Setiap fase perkembangan kehidupan merupakan fase pendidikan. Mulai dari masa kanak-kanak, masa muda, dan dewasa, semuanya adalah fase pendidikan. Pendidikan itu tidak berakhir, kecuali kalau seseorang itu telah mati.
Syarat menyusun bahan ajaran menurut Dewey adalah:
a.       Bahan ajaran hendaknya kongkret, dipilih yang betul-betul berguna dan dibutuhkan, dipersiapkan secara sitematis dan mendetai.
b.      Pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil belajar, hendaknya ditempatkandalam kedudukan yang berarti, yang memungkinkan dilaksanakannya kegiatan baru, dan kegiatan kegiatan yang lebih menyeluruh.
Bahan pelajaran harus mendorong anak untuk bergiat dan berbuat. Kita mengharapkan anak-anak yang aktif, yang bekerja, dan bereksperimen. Guru haru menempatkan dirinya dalam seluruh interaksinya dengan kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan siswa. Guru juga harus memilih bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan.  
Al ‘Ainain (1980) menyatakan bahwa Filsafat Pendidikan merupakan aktivitas yang teratur (sistematis) yang menggunakan filsafat sebagai alat untuk mengatur dan menyusun pelaksanaan pendidikan, dan menjelaskan nilai-nilai serta tujuan-tujuan yang mengarahkan berlangsungnya pelaksanaan pendidikan secara tepat.[3]
Kemudian, sekolah memiliki fungsi khusus sebagai bagian dari lingkungan manusia. Antara lain:
a.       Menyediakan lingkungan yang disederhanakan. Tidak mungkin kita memasukkan seluruh peradaban manusia yang sangat kompleks ke sekolah. Begitu pula sebaliknya.
b.      Membentuk masyarakat yang akan datang yang lebih baik. Siswa tidak belajar dari masa lalu, tetapi belajar dari masa sekarang untuk memperbaiki masa yang akan datang.
c.       Mencari keseimbangan dari bermacam-macam unsur yang ada di dalam lingkungan.  Sekolang memberi kesempatan kepada setiap individu/ siswa untuk memperoleh lingkungan hidupnya.

C.    Landasan Psikologis
Pendidikan senantiasa berkaitan dengan perilaku manusia. Dalam setiap proses pendidikan terjadi interaksi antara peserta didik  dengan lingkungannya, baik lingkungan yang bersifat fisik maupun lingkungan sosial. Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku peserta didik menuju kedewasaan, baik dewasa dari segi fisik, mental, emosional, moral, intelektual, maupun sosial. Harus  diingat  bahwa  walaupun  pendidikan  dan  pembelajaran adalah upaya untuk mengubah perilaku manusia, akan tetapi tidak semua perubahan perilaku manusia/peserta didik mutlak sebagai akibat dari intervensi program pendidikan.
Perubahan  perilaku  peserta  didik  dipengaruhi  oleh  faktor kematangan  dan  faktor  dari  luar  program  pendidikan  atau lingkungan. Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan/program pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan proses perubahan perilaku  peserta didik.  Kurikulum diharapkan dapat menjadi alat untuk mengembangkan kemampuan potensial menjadi kemampuan aktual  peserta  didik  serta  kemampuan-kemampuan  baru  yang dimiliki dalam waktu yang relatif lama.
Pengembangan  kurikulum harus  dilandasi  oleh  asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta didik,  serta  bagaimana peserta didik belajar. Kondisi Psikologis adalah kondisi karakteristik psikofisik seseorang sebagai individu yang dinyatakan dalam berbagai bentuk prilaku dalam interaksinya dengan lingkungan. Prilakunya merupakan cirri dari kehidupannya yang tampak maupun yang tidak tampak, yakni prilaku kognitif, afektif maupun psikomotorik.[4]
Minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik didalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian.[5] Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu pribadi anak didik berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan yang dalam term tertentu disamakan dengan ilmu Jiwa Perkembangan, di dalamnya dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan anak, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Untuk dijadikan landasan dalam mempertimbangkan bobot belajar pada masing-masing tingkatan dan jenjang serta beban belajar yang mesti diselaraskan dengan tingkat perkembangan psikologi dan kejiwaan peserta didik.[6]
a.       Psikologi perkembangan
Psikologi perkembangan membahas perkembanga individu yang dimulai sejak masa konsepsi hingga dewasa. Individu ialah anak ataupun orang dewasa yang merupakan kesatuan jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan menunjukkan karakteristik-karakteristik tertentu yang khas. Individu adalah manusia adalah sesuatu yang sangat kompleks tetapi unik.ia memiliki banyak aspek seperti jasmani, intelektual, social, emosional, moral, tetapi keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang khas.[7]
Dikenal terdapat tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial (differential approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan invidu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut individu dikatagorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Kita mengenal ada kelompok individu berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status social-ekonomi, dan sebagainya. Kedua pendekatan tersebut berusaha untuk menarik atau membuat generalisasi yang berlaku untuk semua individu. Namun dalam kenyataannya seringkali ditemukan adanya sifat-sifat individual, yang hanya dimiliki oleh seorang individu dan tidak dimiliki oleh yang lainnya. Pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu-individu inilah yang dikelompokkan sebagai pendekatan isaptif.[8]
b.      Psikologi belajar
Psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu belajar. Secara sederhana, belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikatagorikan sebagai perilaku belajar. Menurut Morris L. Bigge dan Maurice P. Hunt ada tiga rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.[9]
Menurut teori disiplin mental dari kelahirannya anak telah memiliki potensi-potensi tertentu seperti daya untuk mengamati, menanggap, mengingat, berpikir, memecah masalah, dan sebagainya. Belajar merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi tersebut. Pada teori behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki/membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh factor-faktor dari lingkungan. Rumpun ketiga ialah  Cognitive Gestalt Field, menurut teori ini belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kreatif. 


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Filosofis berperan sebagai sudut pandang pemikiran-pemikiran yang diterapkan pada proses dan pelaksanaan pemecahan masalah pendidikan. Serta dijadikan salah satu dasar penentuan rencana dan konsep kurikulum agar tercapai segala cita-cita dan tujuan sebagai konten dari kurikulum yang dibuat. Pengembangan kurikulum membutuhkan filsafat sebagai acuan atau landasan berpikir.
Aspek psikologi dalam pengembangan kurikulum perlu dipertimbangkan. Proses pelaksanaan kurikulum factor psikologi sangat perlu diperhatikan. Psikologi dalam hal ini ada dua aspek yakni psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi Perkembangan memandang aspek kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan kurikulum. Sedangkan Psikologi Belajar mengkaji bagaimana peserta didik dalam melakukan kegiatan balajar. Misalkan cara dia menerima suatu rangsangan atau informasi sehingga terjadi suatu proses belajar.

B.     Saran
Agar pembaca dapat mengetahui lebih jelas dan lebih luas tentang pembahasan makalah kami alangkah baiknya jika pembaca mencoba membaca buku-buku yang selain dari referensi kami.  Misalkan buku “Kurikulum dan Pembelajaran” karya Oemar Hamalik, “Landasan-Landasan Filosofis Pendidikan” karya Redja Mudyahardo dan lain sebagainya.

C.    Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan mengenai materi dalam makalah ini. Tentunya masih sangat jauh dari kata sempurna, karena terbatasnya pengetahuan, dan kurangnya referensi atau rujukan yang kami peoleh. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Kami juga banyak berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima dan kami mengucapkan terimakasih.



Posting Komentar

1 Komentar

  1. Asli. Terima kasih banget gua sama informasi nya. Dari sini gua makin semangat lagi buat baca baca sesuatu buat nambah pengetahuan. Berfikir kritis itu bener bener keren

    BalasHapus