MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF




BAB I
MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF
1.      Definisi Maqamat dan Ahwal
Kata maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal orang mulia. Kata tersebut merupakan bentuk jamak dari maqam yang berarti pangkat atau derajat. Kemudan istilah ini diartikan sebagai perjalanan panjang yang harus dilalui atau ditempuh oleh orang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dalam bahasa Inggris istilah ini disebut dengan stages yang artinya tangga. [1]
Adapun ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Secara bahasa, ahwal atau hal memiliki arti kondisi atau keadaan. Dapat pula kita pahami, ahwal atau hal ini merupakan keadaan mental. Seperti: perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Kemudian dalam ilmu tasawuf, hal artinya perasaan yag menggerakkan dan mempengaruhi hati yang disebabkan karena bersihnya dzikir.[2]

2.      Macam-macam Maqamat
Para sufi berbeda pendapat dalam jumlah atau banyaknya tingkatan maqamat agar bisa sampai kepada Tuhan. Misalnya, menurut Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya at-ta'aruf li mazhab ahl al-tasawwuf berpendapat bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu', al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma'rifah.
Kemudian maqamat menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma' menyebutkan bahwa maqamat itu jumlahnya ada enam yaitu al-taubah, al-wara', al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan Imam al Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din mengatakan bahwasanya maqamat itu ada tujuh, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma'rifah dan al-ridla.
Meskipun para sufi berbeda pendapat mengenai maqamat seperti yang sudah disebutkan diatas, akan tetapi ada maqamat yang oleh para sufi disepakati, yang jumlahnya ada tujuh. Tujuh maqamat tersebut ialah al-taubah, al-zuhud, al wara', al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla.[3]
a.       Al Taubah
Kata Al-Taubah berasal dari bahasa Arab yaitu taba, yatubu, taubatan yang memiliki arti kembali. Dalam Al Qur’an, banyak kita jumpai ayat yang menganjurkan kepada manusia agar bertaubat. Antara lain:
Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali ‘Imron: 135)
Artinya: “…... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”(QS. An Nur: 31)
Setidaknya, ada empat alasan yang dapat dikemukakakan tentang mengapa kita harus bertaubat. Pertama, manusia merupakan makhluk yang sering berbuat dosa dan kesalahan, entah itu disengaja ataupun tidak. Orang yang tidak pernah berbuat salah dan dosa bukanlah orang baik. Namun, mereka yang mau menyadari kesalahan dan dosanya dengan bertaubat serta berjanji tidak akan mengulanginya setelah itu ialah orang baik. Perbuatan dosa yang kemudian tidak disertai dengan bertaubat akan menghalangi seseorang untuk taat kepada Allah.[4]
Kedua,kita yakin bahwa Allah Maha Pengampun terhadap hamba-Nya. Tidak memandang dosa yang sebesar gunung, seluas lautan, atau bahkan sampai tidak terhingga. Allah akan tetap menerima taubat hamba-Nya, selagi belum terlambat.
Ketiga, dosa yang kita lakukan jika tidak dihapus dengan air mata taubat justru akan menjadi noda hitam yang mengotori dan menghalangi hati untuk memperoleh hidayah dan cahaya Tuhan. Imam al Ghazali mengibaratkan hati manusia dengan cermin. Apabila cermin itu terkena kotoran, maka tidak akan bisa untuk mengaca, terlebih memantulkan cahaya. Demikian juga pada hati manusia, jika ia sering digunakan untuk berbuat dosa dan  maksiat, maka akan sulit untuk menerima dan memantulkan cahaya Tuhan.[5]
Keempat, dari segi psikologis, orang yang melakukan kesalahan atau dosa akn merasa gelisah, tidak tenang, bahkan bisa mengalami keterbelakangan jiwa. Maka dari itu, orang tersebut jika terus menerus membiarkan perbuatan dosanya akan bedampak negatif bagi kesehatan psikologisnya. Dengan cara taubat inilah orang akan lapang jiwanya.
Adapun taubat yang dimaksud oleh para sufi ialah memohon ampunan kepada Allah atas segala dosa dan kesalahan yang telah dilakukan dan berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut. Tentunya dengan disertai melakukan amal kebajikan. Artinya adalah taubat yang sebenarnya. Bisa juga disebut dengan taubatan nasuha, taubat yang tidak akan membawa dosa lagi.
Bagi kalangan sufi, untuk mencapai taubat yang sebenarnya ini terkadang tidak cukup dilakukan hanya dengan satu kali saja. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubah, kemudian baru ia mencapai tingkat taubat yang sebenarnya. Karena taubat yang sebenarnya bagi kalangan sufisme adalah lupa pada segala hal kecuali Tuhan.[6]
Imam Nawawi, dalam kitabnya al Adzkar menyebutkan bahwa taubat kita agar diterima oleh Allah harus memenuhi syarat berikut:[7]
1)      Harus ada rasa penyesalan (an nadamah) dalam hati atas segala dosa yang dilakukan. Terkadang sudah sadar akan dosa yang diperbuat dan langsung bertaubat, namun setelah itu malah bangga akan dosa yang telah dilakukan atau justru melakukan dosa itu lagi.
2)      Berjanji dengan hati untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa dan maksiat. Sebenarnya, ini hanyalah konsekuensi logis dari rasa penyesalan kita. Jika kita menyesal, maka harusnya tidak ingin mengulangi perbuatan maksiat itu lagi.
3)      Memperbanyak “istighfar”, yakni memohon ampunan kepada Allah. Jangan sampai kita dininabobokkan oleh kemaksiatan dan dosa yang telah dilakukan. Nabi Muhammad SAW saja masih memohon ampunan kepada Allah. Padahal beliau sudah mendapatkan ‘garansi’ dari Allah. Bagaimana dengan kita yang tidak ada ‘garansi’ dari Allah?
4)      Berusaha menghindari atau meninggalkan lingkungan yang dapat memicu dan memacu berbuat maksiat dan dosa. Lingkungan pergaulan memang sangat kuat pengaruhnya. Orang yang mengaku dirinya bertaubat, maka akan mencari tempat yang baik. Sebab, ini akan mendorong dirinya untuk berbuat baik.
5)      Jika perbuatan dosa yang kita lakukan berkaitan dengan hak orang lain, maka kita harus meminta kehalalan atau mengembalikannya kepada orang bersangkutan. Apabila orang yang telah kita zhalimi telah tiada (menginggal), maka kita dapat memberikan hak tersebut kepada ahli warisnya ata fakir miskin dengan niat dan memohon agar pahalanya disampaikan kepada orang tersebut.
Tentunya ini memerlukan waktu yang cukup panjang dan usaha yang maksimal. Oleh karena itu, untuk memantapkan taubatnya ia harus pindah ke stasion berikutnya yakni zuhud.
b.      Al Zuhud
Secara harfiah al zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedagkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. [8]
Asal kata dari zuhud ialah zahida yazhadu zuhdan yang artinya membenci sesuatu. Dengan demikian orang dikatakan zuhud apabila ia mau mempersiapkan diri mencari bekal untuk hidup di akhirat, berpegang teguh dengan agama, dan terus menerus menjalankan ketaatan kepada Allah.[9]
Jadi zuhud tidak harus dengan meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan sikap hati yang tidak terlalu suka dengan dunia sehingga lupa akan kehidupan akhirat. Banyak orang kaya raya, namun juga mereka sangat zuhud. Contohnya Nabi Sulaiman, meskipun ia kaya raya, namun ia dikenal dengan dengan sebutan azhaduz zahidin atau orang yang paling zuhud diantara orang-orang zuhud. Beliau makan makanan yang sederhana, sementara dirinya memberikan makanan yang enak kepada rakyatnya.[10]
Beberapa hal bisa dilakukan seseorang untuk sampai pada maqam zuhud ini, diantaranya:
1)      Menyadari dan menyakini bahwa dunia ini fana. Pada saatnya manusia akan meninggalkannya. Selain itu ia juga harus yakin bahwa dirinya pasti akan kea lam baka, yakni akhirat.
2)      Menyadari dan menyakini bahwa dibelakang dunia ini ada akhirat yang jauh lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.
3)      Banyak mengigat mati, agar hati menjadi lembut dan hidupnya lebih berhati-hati. Sebab setelah meninggal dunia manusia akan ditanya dan mempertanggung jawabkan semua amal perbuatannya.
4)      Mengkaji sejarah perjalan hidup para nabi, sahabat, atau orang-orang shalih yang notabene mereka adalah orang-orang zuhud.[11] 
Biasanya, seseorang yang sampai pada maqam ini akan mengasingkan diri ke tepat terpencil untuk beribadah. Seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an, maupun berdzikir. Orang tersebut hanya makan dan minum untuk bertahan hidup saja. Menyedikitkan tidur dan memperbanyak ibadah bahkan pakaian juga sederhana. Sehingga orang tersebut sudah tidak tergoda oleh dunia. Apabila orang tersebut sudah keluar dari pengasingannya, namun juga masih tetap melakukan hal-hal layaknya di tempat pengasingan. Ia tetap berpuasa, melakukan sholat, membaca AL Qur’an maupun berdzikir maka ia harus melanjutkan ke stasion berikutnya yakni wara,
c.       Al Wara’
Pada stasion ini, ia akan dijauhkan oleh Tuhan dari hal-hal syubhat. Kata al wara’ dapat diartikan sebagai saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Selanjutnya, dalam pandangan orang sufi, wara’ memiliki arti meninggalkan semua hal yang di dalamnya mengandung keraguan antara halal atau haram (syubhat).
Syubhat itu sendiri lebih dekat kapada sesuatu yang haram. Seperti dalam hadis, “Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.”(HR. Imam Bukhari). Tentunya, bagi salik atau sufi makanan, minuman, pakaian, ataupun yang lainnya mengandung haram akan berpengaruh dalam prosesnya menuju Allah. Sebab, orang yang telah mengkonsumsi hal semacam ini akan keras hatinya, sehingga akan sulit mendapat hidayah dan ilham dari Tuhan.
Halal, haram, dan syubhat seperti rambu-rambu lalu lintas. Sungguh tak terbayangkan bagaimana jadinya jika manusia berjalan di jalan raya yang ramai tidak ada rambu-rambu. Tentu akan terjadi kekacauan, sebab tidak ada petunjuk mana pertanda yang boleh lewat duluan dan mana yang harus berhenti. Begitulah pula dengan persoalan makanan dan minuman, kita juga memerlukan petunjuk rambu-rambu.[12]
Sekarang kita analogikan, lampu hijau merupakan hal yang halal atau makanan dan minuman yang boleh dimakan. Kemudian lampu merah sebagai tanda haram, maka kita wajib berhenti, tidak boleh mengkonsumsinya. Selanjutnya lampu kuning, menjadi tanda dari hal-hal yang makruh, maka di sini kita harus berhati-hati. Adapun orang yang wira’i pasti akan lebih memillih berhenti saat lampu kuning sudah menyala. Sedangkan orang yang nekat, jangankan lampu kuning, lampu merah saja ia terjang. Jangankan syubhat, haram saja ia konsumsi.
Betapapun sikap wara’ sangat dianjurkan, namun demikian, jangan sampai seseorang terkena ghurur (tipu daya), sikap wara’ yang ekstrim. Sebab kadang ada seseorang yang merasa menjadi seseorang wara’, dia lalu bersikap ekstrim. Semua barang seolah selalu dipertanyakan kehalalannya. Misalkanya, ada makanan atau minuman yang jelas-jelas halal, baik zatnya, cara pembuatan atau proses mendapatkannya, tetapi karena ekstrim (ghuluww) dalam memahami sikap wara’, ia lalu tidak mau mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut. Sikap wara’ seperti ini dalam saat yang bersamaan dapat menjebak seseorang bersifat ujub dan riya’. Ini disebabkan oleh nafsu keegoisan yang mendasari keinginan untuk menjadi orang wara’.[13]
Sekarang, seseorang harus menghadapi tantangan kehidupan modern. Tentunya modernitas ini juga membawa dampak negative. Termasuk di dalamnya, sikap dan gaya hidup yang materialistik dan hedonistik. Oleh karena itu manusia harus memiliki prinsip yang kuat dalam hidup.  Adapun sikap wara’ ini bisa menjadi tameng manusia dalam kehiduapn modern ini. Sebab, dengan adanya sikap ini nanti seseorang akan mempunyai kakuatan batin yang bagus. Untuk menumbuhkan sikap wara’ juga bisa dengan mengetahui manfaatnya.
Seperti ditulis oleh Muhammad Luqman Hakim, dalam majalah sufi edisi ke 29 Januari 2004, diantara manfaat sikap wara’ adalah:[14]
1)      Wara’ menumbuhkan sifat kesatria, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positif.
2)      Wara’ akan menjauhkan sifat israf (berlebihan), egoisme, meterialisme (ambisi materi), dan kesombongan.
3)      Wara’ mendorong seseorang menjadi hamba Allah yang merdeka dari kepentingan selain Allah, karena hakekat wara’ adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Allah.
4)      Wara’ mengantarkan seseorang untuk bersikap tulus ikhlas dalam beramal kepada Allah. Karena tanpa wara’, ibadah kita akan menyimpang dari nilai-nilai keikhlasan.
5)      Wara’ menghilangkan sikap kepura-puraan, kemunafikan, basa-basi, dan membebaskan dari penjara hawa nafsu kita.
6)      Wara’ adalah awal dari ketaqwaan seseorang.
7)      Wara’ akan mengantarkan seseorang untuk terus menerimamemandang Allah dalam setiap hal yang halal. Sehingga wara’ juga mendorong manusia untuk terus menerima bersyukur, sebab di balik yang di pandang ada nama Allah.
8)      Wara’ adalah nuansa majelis Ilahi. Abu Hurairah pernah mengatakan, “orang-orang yang berada di mejelis Allah adalah ahli wara’ dan zuhud.”
9)      Wara membuat seseorangtidak suka berbuat dzalim, ia senantiasa berbuat adil, proposional, dan wajar serta menjauhkan diri dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) 
d.      Al Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[15]
      Kyai Achmad Siddiq berpendapat bahwa kefakiran ialah tahapan yang penting. Menurutnya, al faqr ialah selalu menyadari kebutuhan dirinya kepada Allah. Artinya, seseorang tidaklah memiliki sesuatu yang bernilai atau sesuatu yang patut dibanggakan di hadapan Allah. Kekayaan, kekuasaan, kepandaian, bahkan ibadah yang dilakukan selama hidupnya tidak patut diunggulkan atau dibanggakan di hadapan Allah. Seandainya Allah tidak memberikan belas kasih-Nya, semua itu tidak akan nilainya sama sekali. Maka sepenuh hati menyadari akan ketergantungan dengan Allah, setiap saat bahkan setiap detik, dalam kondisi apapun, inilah yang dimaksud al faqr.   
e.       Al Shabr
Setelah menjalani maqam kefakiran, maka ia akan sampai pada maqam sabar. Sabar di sini bukan sekedar menjalankan perintah-Nya yang berat dan menjauhi larangan-Nya yang penuh dengan cobaan. Ia harus sabar menderita, bukan hanya bisa memohon pertolongan akan tetapi ia juga harus sabar yakni menunggu pertolongan itu.
Banyak pula yang memiliki anggapan yang keliru terhadap makna sabar ini. Parahnya, orang yang bersikap sabar ini disamakan dengan orang yang pasif, tidak mau berusaha, dan menunda-nunda dalam melakukan sesuatu. padahal dalam kesabaran ini ada dimensi kesungguhan, keuletan, dan profesionalitas. Maka menunda-nunda sholat bukanlah kesabaran namun kemalasan. Oleh karena itu, kesabaran tidaklah identic dengan sikap menunda-nunda berbuat kebaikan.
Berdasarkan konteksnya, sabar dapat dibagi menjadi tiga bagian:[16]
1)      Sabar dalam ketaatan (as shabru ‘ala al Tha’ah).
Hal ini harus dilakukan dengan cara istiqamah (konsisten dan terus menerus) dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.
2)      Sabar meninggalkan maksiat (as shabru ‘an al ma’siyyah).
Ini dilakukan dengan cara mujahadah (jihad spiritual), bersungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu dan meluruskan keinginan-keinginan yang buruk yang dibisikkan oleh setan.
3)      Sabar ketika ditimpa musibah (as shabru ‘ala al Mushibah).
Ini dilakukan ketika kita ditimpa musibah atau kemalangan. Dunia sesungguhnya tempat ujian (dar al imtihan). Allah akan menguji keimanan seseorang, antara lain dengan ditimpakan nya musibah kepadanya. Ini bukan berarti Tuhan tidak saying, melainkan sekedar untuk menguji, sejauh mana kekuatan imannya.
Menurut Ibnu A’jibah, orang sabar jika diklasifisikan berdasarkan tingkatannya dapat dibagi menjadi tiga:[17]
1)      Sabar tingkatan orang awam. Seseorang dalam posisi ini akan selalu tabah atas kesulitan-kesulitan dalam menjalankan ketaatan dan melawan segala bentuk pelanggaran.
2)      Sabar tingkatan orang khusus (khawash). Seseorang yang masuk dalam tingkatan ini akan bisa menahan hati (tabah) ketika menjalankan riyadlah dan mujahadah (perjuangan spiritual) dengan selalu melakukan muraqabah, sehingga dalam hatinya selalu hadir nama Allah.
3)      Sabar tingkatan khawashul khawas. Seseorang bisa dikatakan masuk dalam maqam ini bila ia bisa menahan ruh dan sir agar dapat menyaksikan Allah (musyahadah) dengan mata hatinya.
Menjadi orang awam dan masuk dalam level pertama saja sudah bagus. Akan tetapi, kita hendaknya berusaha untuk meningkatkan kesabaran bahkan sampai level tertinggi. 
f.       Al Tawakkal
Setelah masuk pada stasion al tawakkal maka ia akan menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Oleh karena ia tidak akan berpikir tentang hari esok.  Dengan menyerahkan diri ini ia akan merasa tenang sepenuhnya. Terkadang ia bersikap seolah-olah telah mati.
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakal adalah apabila seorang hamba dihadapan Allah seperti bangkai dihadapan orang yang memandikanya, ia mengikuti semua yang memandikan, artinya tidak dapat bergerak dan bertindak. [18]
Lebih lanjut, Al Qusyairi berpendapat bahwa tawakkal tempatnya ialah ada di dalam hati. Adapun gerakan tubuh (perbuatan) tidaklah mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati tersebut. Sehingga akan timbul keyakinan bahwa semua yang terjadi merupakan takdir dari Allah.
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Harun Nasution yang mengatakan bahwa tawakkal ialah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Misalkan orang tidak mau makan, karena ada orang yang lebih membutuhkan dari pada dirinya.
Bertawakkal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. Dalam firman-Nya, Allah menyatakan :[19] 
Artinya: “…. dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At Taubah: 51)
Artinya: “…. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.” (QS. At Maidah: 11)
g.      Al Ridla
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar dengan senang hati. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Mereka senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kada dan kadar, malahan perasaan  cinta bergelora di waktu turunnya bala’(cobaan yang berat).[20]
Seseorang yang memiliki sikap ridha bukan berarti ia meninggalkan usaha (ikhtiar). Karena hal semacam ini bisa mengakibatkan sikap yang fatal dan membuat orang tersebut pasif. Saat ditimpa musibah, orang yang ridha ini akan merasakan pedih atau sakit. Namun ia lebih yakin bahwa setelah musibah ini pasti akan mendapatkan hasil yang lebih baik yakni kebahagiaan. Seperti orang yang sakit, ia harus disuntik, orang tersebut pasti merasakan sakitnya jarum, namun ia rela disuntik karena sangat yakin setalah disuntik itu ia akan sembuh.
Ridha biasanya berkaitan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti seseorang sedang tertimpa musibah: ibunya meninggal dunia, hartanya dicuri maling, anaknya meninggal sewaktu masih kecil, dan lain sebagainya. Maka ridha ini merupakan salah satu sifat yang amat mulia. Tentunya kedudukannya lebih tinggi dari pada sabar. [21]
Itulah sebabnya Nabi juga mengajarkan doa kepada para sahabat agar menjadi pribadi-pribadi yang memiliki sifat ridha. Beliau bersabda: “Barang siapa yang berdoa setiap pagi dan sore dengan membaca doa radhitu billahi rabba wa bil islami dina wa bi muhammadin rasula” aku ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai rasul”. (HR. Abu Dawud) [22]
Dalam hadis Qudsi, Nabi menegaskan: “sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selai Aku. Barang siapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain Aku.”
Beberapa hal bisa kita lakukan untuk mencapai stasion ini, diantaranya:
1)      Ketika ditimpa musibah, yakin dan sadar bahwa Allah sedang menguji dan ujian ini ialah bentuk kasih sayang dari-Nya. Rela menerima ketika ditimpa musibah bukan berkeluh kesah.
2)      Yakin akan hikmah adanya musibah tersebut. Hikmah tersebut bisa diketahui dengan melakukan munasabah atau intropeksi diri. Bukan sekedar rela akan musibah yang telah diberikan oleh Allah.


3.      Macam-macam Ahwal
a.       Khauf
Khauf dalm kajian tasawuf yakni perasaan takut karena dihantui oleh dosa serta ancaman yang akan menimpanya. Dengan begitu, orang tersebut akan senantiasa melakukan dzikir dan berdoa agar terlindung dari adzab-Nya. Ketika rasa takut ini telah menetap dalam dirinya, maka ia akan bisa mengendalikan nafsu. Rasa takut ini sangat berperan dalam diri seseorang, sebab bisa menjadikan dirinya senang dan damai.
b.      Tawaddu’
Tawaddu’ artinya rendah hati. Tawaddu’ yang sebenarnya ialah kerendahan dari seorang hamba terhadap kebenaran dan kuasa-Nya. Namun juga merupakan bentuk tawaddu’ dengan merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan bersikap lemah lembut terhadapnya.  
Sikap rendah hati bentuk usaha untuk menghindari diri dari sifat tamak dan sombong. Syaikh al Islam Abdullah al Ansari mengatakan tawaddu’ mempunyai tiga tahap, yaitu:
1)      Tawaddu’ kepada agama,yaitu dengan tidak menentangnya dengan pemikiran dan penukilan, tidak menolak dalil agama, dan tidak berpikir untuk menyangkalnya.
2)      Meridhai seorang muslim sebagai suadara sesama hamba Allah meredhai dirinya, tidak menolak kebenaran sekalipun datang dari pada musuh dan menerima permohonan maaf daripada orang yang meminta maaf.
3)      Tunduk kepada kebenaran (Allah) dengan melepaskan pendapat dan kebiasaan dalam mengabdi tidak melihat hak dalam mu’ammalah.  
c.       Taqwa
Taqwa artinya ialah pemeliharaan diri. Sifat ini ditujukan utuk orang yang patuh, taat, dan sabar terhadap perintah Allah serta memelihara dirinya dari perkara-perkara yang buruk. Dapat dipahami pula, taqwa secara umum ialah memelihara diri dan tetap menjaganya dengan melaksanakan ketaatan dan amal shalih.
Pemeliharaan semacam ini akan menghasilkan nilai positif. Ia akan memiliki keadaan psikologi yang lembut. Kemudian nilai ketuhanan yang kukuh. Selain itu, ia juga akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Sikap taqwa ini akan melahirkan sikap adil dan berlaku benar. Bahkan ia juga amanah dan mempunyai hubungan baik dengan lingkungan sekitar.
d.      Ikhlas
Hakikat ikhlas adalah al tabarri ‘an kulli ma dunallah, bebas dari apa yang selain Allah. Artinya, seseorang beribadah hanya mengharap ridha Allah, bukan hanya karena mengharap pujian makhluk. Satu hal yang perlu dipahami bahwa ikhlas berkaitan erat dengan niat dalam hati seseorang ketika beribadah. Ikhlas yang sempurnya harus dilakukan baik sebelum, sedang, dan sesudah beribadah. Sebab ada orang ikhlas ketika beribadah, tetapi setelah itu ia terjebak dalam sikap riya’ (pamer), maka rusaklah nilai ibadahnya.[23]
Adapun hal-hal yang dapat merusak keihklasan antara lain:[24]
1)      Bersikap riya’, yaitu memamerkan amal ibadah karena ingin mendapat pujian dari orang lain. Al Qur’an mencela orang yang beribadah tetapi suka pamer (riya’). Allah berfirman: “ (QS. Al Ma’un: 4-6). Berbeda dengan jika kita menceritakan amal ibadah kita dengan maksud untuk memberi keteladanan dan mensyukuri nikmat Allah. Misalkan setelah pulng dari haji kita menceritakan tentang bagaimana nikmatnya ibadah di Mekkah. Hal ini dimaksudkan agar mereka yang kita ajak berbicara termotivasi untuk segera menunaikan ibadah haji.
Adapun ciri-ciri riya’ menurut Sayyidina Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad al Syamarqandi dalam kitab Tanbihul Ghafilin (hlm. 5), antara lain:
a.       Malas beribadah jika sendirian(tidak dilihat orang lain)
b.      Tampak semangat beribadah atau berbuat baik jka disaksikan orang lain.
c.       Menambah ibadahnya jika dipuji.
d.      Dan mengurangi ibadahnya jka tidak dipuji (atau dicela).
Obat dari penyakit ini yakni hanyalah kesadaran diri yang amat tinggi bahwa setiap perbuatan , ibadah kita dilihat oleh Allah. Ia tidak akan luput sedikitpun.
2)      Bersikap ‘ujub, yaitu mengagumi kehebatan ibadah dalam hati, meskipun hal ini tidak diceritakan kepada orang lain. Contoh, orang dapat elakukan sholat dengan berjamaah atau tahajud dengan istiqomah. Lalu dalam hatinya muncul sifat ‘ujub. Dalam hati berkata, “ah tidak ada orang sehebat sayadalam hal shalat berjamaah atau tahajud”. Sikap ini dapat diobati dengan cara yang sama pada sifat riya’, yakni kesadaran. Sadar bahwa ia tidak dapat beribadah seperti itu kecuali atas pertolongan Allah.
3)      Merasa puas terhadap amal ibadah dan tertipu olehnya. Ini juga dapat merusak keikhlasan dalam beribadah. Sikap seperti ini hanya bisa sembuh dengan cara mengetahui cacat (aib) yang ada dalam amal perbuatan. Karena sangat sedikit sekali suatu perbuatan yang benar-benar bisa yang bisa selamat dari bisikan setan. Oleh sebab itu seseorang tidak boleh merasa puas dengan amal ibadahnya. Melainkna harus merasa ada yang kurang dalam ibadahnya, sehinga muncul sikap taubat dan upaya yang terus menerus untuk memperbaki kualitas ibadahnya.
4)      Ingin dipuji dan ingin popular. Orang yang memiliki dua sifat seperti ini sulit untuk beramal dengan ikhlas. Pada saat yang bersamaan ia juga takut dicela oleh orang lain. Dia beramal karena manusia, bukan karena Allah.
Menurut Ibnu ‘Ajibah sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir ‘Isa dalam kitab Haqiqah Tashawwuf (hlm. 256-257), ikhlas dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian:
1)      Ikhlas tingkatan orang awam. Ia beribadah karena Allah, tetapi masih disertai dengan mencari keuntungan duniawi dan ukhrowi. Misalkan, ingin agar badannya sehat, hartanya banyak, dan mendapatkan pahala, bidadari serat surge di akhirat.
2)      Ikhlas tingkatan orang khusus. Seseorang akan beribadah hanya semata-mata untuk mencari untuk keuntungan akhirat. Tidak ada motivasi sedikitpun untuk mencari keuntungan duniawi. Naum, di dalam hatinya masih ada keinginan untuk memperoleh pahala, surge, bidadari, dan lain sebagainya.
3)      Ikhlas tingkatan khawashul khawash. Orang hanya beribadah kerena ingin ridhanya Allah. Ia beribadah atas dasar rindu dan cinta kepada Allah.
Tingkatan ketiga inlah yang banyak dicari oleh para sufi. Sebagaimana tampak dalam syair: “Tujuan ibadah mereka bukanlah mencari surge ‘Adn, tidak pla mencari bidadari yang cantik jelita, dan kemah-kemah yang indah mempesona. Tuuan mereka adalah memandang Dzat yang Maha Agung semata, inilah tujuan mereka.”
e.       Syukur
Imam Ibnul Qoyyim, mendefinisikan syukur ialah kecondongan hati untuk mencintai kepada Dzat yang memberi kenikmatan. Anggota tubuhnya condong tergerak untuk taat kepada-Nya, lidahnya selalu mengingat dan memuji-Nya.
Sementara itu, Ibnu ‘Ajibah berpendapat bahwa syukur adalah senangnya hati seseorang atas kenikmatan yang ia peroleh, lantas anggota tubuhnya tergerak untuk taat kepad yang memberi nikmat, disertai sikap pengakuan kepada Dzat yang memberi nikmat dengan tundik kepada-Nya.
Dengan kata lain, syukur adalah berterima kasih kepada Allah sebagai Dzat yang memberi nikmat, yang dibuktikan tidak saja dengan hati dan ucapan, tetapi juga dengan tindakan. Seseorang yang pandai bersyukur akan menggunakan seluruh anugerah Tuhan untuk hal-hal yang mendatangkanridha-Nya.
Manusia pada umumya cenderung kufr al nikmah (mengingkari nikmat Allah). Padahal Allah SWT telah memberikan nikmat yang tak terhingga kepadanya. Manusia yang pandai bersyukur akan ditambah nikmatnya oleh Allah. (lihat QS. An Nisa’: 147).
Allah telah berfirman, “ Seandainya kalian mau menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya”. (QS. Ibrahim: 34). Nikmat Allah jika dilelompokkan berdasarkan sifatnya, maka paling tidak dapat dibagi menjadi tiga macam:
1)      Nikmat Duniawi, seperti kesehatan, harta yang halal, kekuatan, dan lain sebagainya.
2)      Nikmat Diniyyah, seperti amal shalih, ilmu, taqwa, iman, ma’rifat kepada Allah, dan lain sebagainya.
3)      Nikmat Ukhrawi, semisal berupa pahala atas amal shalih yang sedikit, tetapi balasannya sangat besar, yaitu surge dengan segala macam kenikmatannya.
Semua nikmat Allah itu wajib disyukuri. Dan yang paling penting untuk disyukuri adalalh nikmat Islam, iman, dan ma’rifah depada Allah. Agama Islam diturunkan oleh Allah pada manusia agar dijadikan jalan hidup baginya dalam mengarungi kehidupan.

      Syukur berdasarkan caranya, manurut Abdul Qadir Isadapat dibagi menjadi tiga macam: [25]
1)      Al Syukru bi lisan, bersyukur dengan ucapan, misalkan dengan mengucapkan kalimat Alhamdulillah, atau al tahaduts bin nikmah (menceritakan nikmat-nikmat Allah yang selama ini diberikan kepada kita semua). Maka menyembunyikan nikmat Allah termasuk kufr bi nikmah.
2)      As Syukru bil Arkan, bersyukur dengan melakukan amal shalih dan berbagai macam perbuatan terpuji. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh rasul SAW. dimana setiap malam beliau rajin sholat tahajjud (qiyamul lail). Sampai kedua telapak kakinya bengkak.
3)      As Syukru bil Janan, bersyukur dengan hati, yakni bersaksi bahwa setiap nikmat yang ada pada diri seseorang adalah anugerah dari Allah SWTG. Denga demikian, jangan sampai seseorang ketika menerima berbagai kenikmatan dari Allah, ia malah menutup matauntuk menyaksikan Dzat yang memberikan nikmat, Allah SWT. Sebagai seorang mukmin, kita perlu memohon kepada Allah SWT, semoga selalu diberikan pertolongan untuk selalu dapat mensyukuri segala kenikmatan dan memuji-Nya.
Orang bersyukur memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:[26]
1)      Tingkatan orang umum (awamm). Ia bersyukur ketika mendapat nikmat saja. Tingkatan ini diibaratkan seperti anak kecil yang hanya mau berterima kasih ketika diberi sesuatu yang menyenangkan.
2)      Tingkatan orang khusus (khash). Ia bersyukur tidak hanya ketika diberi nikmat, tetapi juga ketika diberi cobaan bancana atau musibah. Baginya musibah atau bencana dan nikmat itu sama-sama ujian dari Allah. Cobaan dari Allah dianggap sebagai bentuk kasih saying dari-Nya. Nabi saw. bersabda: apabila Allah mencintai hamba-Nya, maka Dia akan mengujinya, karena ingin mendengar rintihannya. (HR. al Baihaqi dan al Dailani).
3)      Tingkatan orang khawashul khawash. Dia bersyukur bukan karena mendapat nikmat, melainkan karena melihat al mun’im (Dzat yang memberi nikmat). Dalam kitab risalah al Qusyairiyyah (hlm. 81), Syeikh Syibli seorang sufi besar (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata: “as syukru ru’yatul mun’im la ru’yatul ni’mah.” Artinya: bersyukur itu karena melihat Dzat yang memberi nikmat, bukan karena nikmat itu sendiri.    




f.       Mutmainnah
Mutmainnah atau ketenganan merupakan keadaan batin yang selalu tenteram karena selalu dekat dengan Allah. Menurut ‘Abdullah al Ansari mutmainnah dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:[27]
1)      Mutmainnah hati karena menyebut nama Allah. Ini merupakan mutmainnah yang takut beralih kepada harapan daripada kegelisahan kepada hukum dan daripada cobaan kepada pahala.
2)      Mutmainnah yaitu ketika mencapai tujuan pengungkapan hakekat, saat merindukan janji dan saat berpisah untuk berkumpul kembali,
3)      mutmainnah karena manyaksikan kasih sayang Allah, mutmainnah kebersamaan menuju baqa’ dan mutminnah kedudukan menuju cahaya azali.   




BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Uraian di atas tadi dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Maqamat dalam tasawuf ialah jalan yang yang dilalui oleh salik menuju kehadhirat Allah SWT. Perbedaan pendapat terjadi dalam hal ini. Ada yang mengatakan jalan atau maqam yang harus dilalui berjumlah tujuh. Namun juga ada yang mengatakan harus melalui sepuluh tahap. Namun demikian, ada kesepakatan dari para sufi mengenai tahapan yang harus dilalui. Jumlah maqam yang harus dilalui ialah tujuh, yakni al-taubah, al-zuhud, al wara', al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla.
2.      Ahwal atau hal sebagai bentuk keadaan jiwa dari para sufi juga terjadi perbedaan pendapat. Tidak ada jumlah atau kesepakatan yang pasti dalam hal ini. Sebab, ahwal adalah keadan jiwa dari seseorang salik. Diantara ahwal tersebut yakni khauf, tawaddu’, taqwa, ikhlas, syukur, dan mutmainnah.

B.     Saran
Agar pembaca dapat mengetahui lebih jelas dan lebih luas tentang pembahasan pada makalah kami, alangkah baiknya jika pembaca mencoba membaca materi-materi Tasawuf yang terkait pambahasan yang lebih banyak khususnya selain dari referensi kami. Misalkan, Akhlak Tasawuf karya A. Khoiri, Akhlak Tasawuf karya M. Solihin dan R. Anwar, Akhlak Tasawuf karya A. Mas’ud, dan sebagainya.

C.    Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan mengenai materi tentang Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi atau rujukan yang kami peroleh. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Kami juga banyak berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima dan kami mengucapkan terima kasih.




Posting Komentar

4 Komentar

  1. buat no tapi gak ada referensinya

    BalasHapus
  2. Hahaha... ada donk, tapi sengaja tidak saya cantumkan..

    BalasHapus
  3. dicantumin aja mas note nya, bermanfaat dunia akhirat jadi amal jariyah buat yang membutuhkan ...hmm

    BalasHapus