BAB I
MAQAMAT DAN
AHWAL DALAM TASAWUF
1.
Definisi Maqamat dan Ahwal
Kata maqamat
berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal
orang mulia. Kata tersebut merupakan bentuk jamak dari maqam yang
berarti pangkat atau derajat. Kemudan istilah ini diartikan sebagai perjalanan
panjang yang harus dilalui atau ditempuh oleh orang sufi untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Sedangkan dalam bahasa Inggris istilah ini disebut dengan stages
yang artinya tangga. [1]
Adapun ahwal
merupakan bentuk jamak dari hal. Secara bahasa, ahwal atau hal
memiliki arti kondisi atau keadaan. Dapat pula kita pahami, ahwal atau
hal ini merupakan keadaan mental. Seperti: perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Kemudian dalam ilmu tasawuf, hal
artinya perasaan yag menggerakkan dan mempengaruhi hati yang disebabkan karena
bersihnya dzikir.[2]
2.
Macam-macam Maqamat
Para sufi
berbeda pendapat dalam jumlah atau banyaknya tingkatan maqamat agar bisa
sampai kepada Tuhan. Misalnya, menurut Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya at-ta'aruf
li mazhab ahl al-tasawwuf berpendapat bahwa maqamat itu jumlahnya
ada sepuluh yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu',
al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma'rifah.
Kemudian maqamat
menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma' menyebutkan
bahwa maqamat itu jumlahnya ada enam yaitu al-taubah, al-wara',
al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan Imam al Ghazali
dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din mengatakan bahwasanya maqamat
itu ada tujuh, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal,
al-mahabbah, al-ma'rifah dan al-ridla.
Meskipun para
sufi berbeda pendapat mengenai maqamat seperti yang sudah disebutkan
diatas, akan tetapi ada maqamat yang oleh para sufi disepakati, yang
jumlahnya ada tujuh. Tujuh maqamat tersebut ialah al-taubah,
al-zuhud, al wara', al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla.[3]
a.
Al Taubah
Kata Al-Taubah berasal dari
bahasa Arab yaitu taba, yatubu, taubatan yang memiliki arti kembali. Dalam Al
Qur’an, banyak kita jumpai ayat yang menganjurkan kepada manusia agar
bertaubat. Antara lain:
Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali ‘Imron: 135)
Artinya: “…... Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”(QS.
An Nur: 31)
Setidaknya, ada empat alasan yang
dapat dikemukakakan tentang mengapa kita harus bertaubat. Pertama, manusia
merupakan makhluk yang sering berbuat dosa dan kesalahan, entah itu disengaja
ataupun tidak. Orang yang tidak pernah berbuat salah dan dosa bukanlah orang
baik. Namun, mereka yang mau menyadari kesalahan dan dosanya dengan bertaubat
serta berjanji tidak akan mengulanginya setelah itu ialah orang baik. Perbuatan
dosa yang kemudian tidak disertai dengan bertaubat akan menghalangi seseorang
untuk taat kepada Allah.[4]
Kedua,kita yakin
bahwa Allah Maha Pengampun terhadap hamba-Nya. Tidak memandang dosa yang
sebesar gunung, seluas lautan, atau bahkan sampai tidak terhingga. Allah akan
tetap menerima taubat hamba-Nya, selagi belum terlambat.
Ketiga, dosa yang
kita lakukan jika tidak dihapus dengan air mata taubat justru akan menjadi noda
hitam yang mengotori dan menghalangi hati untuk memperoleh hidayah dan cahaya
Tuhan. Imam al Ghazali mengibaratkan hati manusia dengan cermin. Apabila cermin
itu terkena kotoran, maka tidak akan bisa untuk mengaca, terlebih memantulkan
cahaya. Demikian juga pada hati manusia, jika ia sering digunakan untuk berbuat
dosa dan maksiat, maka akan sulit untuk
menerima dan memantulkan cahaya Tuhan.[5]
Keempat, dari segi
psikologis, orang yang melakukan kesalahan atau dosa akn merasa gelisah, tidak
tenang, bahkan bisa mengalami keterbelakangan jiwa. Maka dari itu, orang
tersebut jika terus menerus membiarkan perbuatan dosanya akan bedampak negatif
bagi kesehatan psikologisnya. Dengan cara taubat inilah orang akan lapang
jiwanya.
Adapun taubat yang dimaksud oleh
para sufi ialah memohon ampunan kepada Allah atas segala dosa dan kesalahan
yang telah dilakukan dan berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi
perbuatan dosa tersebut. Tentunya dengan disertai melakukan amal kebajikan. Artinya
adalah taubat yang sebenarnya. Bisa juga disebut dengan taubatan nasuha,
taubat yang tidak akan membawa dosa lagi.
Bagi kalangan sufi, untuk mencapai
taubat yang sebenarnya ini terkadang tidak cukup dilakukan hanya dengan satu
kali saja. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh
puluh kali taubah, kemudian baru ia mencapai tingkat taubat yang sebenarnya. Karena
taubat yang sebenarnya bagi kalangan sufisme adalah lupa pada segala hal kecuali
Tuhan.[6]
Imam Nawawi, dalam kitabnya al
Adzkar menyebutkan bahwa taubat kita agar diterima oleh Allah harus
memenuhi syarat berikut:[7]
1)
Harus ada rasa penyesalan (an
nadamah) dalam hati atas segala dosa yang dilakukan. Terkadang sudah sadar
akan dosa yang diperbuat dan langsung bertaubat, namun setelah itu malah bangga
akan dosa yang telah dilakukan atau justru melakukan dosa itu lagi.
2)
Berjanji dengan hati untuk tidak
mengulangi lagi perbuatan dosa dan maksiat. Sebenarnya, ini hanyalah
konsekuensi logis dari rasa penyesalan kita. Jika kita menyesal, maka harusnya
tidak ingin mengulangi perbuatan maksiat itu lagi.
3)
Memperbanyak “istighfar”, yakni
memohon ampunan kepada Allah. Jangan sampai kita dininabobokkan oleh
kemaksiatan dan dosa yang telah dilakukan. Nabi Muhammad SAW saja masih memohon
ampunan kepada Allah. Padahal beliau sudah mendapatkan ‘garansi’ dari Allah.
Bagaimana dengan kita yang tidak ada ‘garansi’ dari Allah?
4)
Berusaha menghindari atau
meninggalkan lingkungan yang dapat memicu dan memacu berbuat maksiat dan dosa.
Lingkungan pergaulan memang sangat kuat pengaruhnya. Orang yang mengaku dirinya
bertaubat, maka akan mencari tempat yang baik. Sebab, ini akan mendorong
dirinya untuk berbuat baik.
5)
Jika perbuatan dosa yang kita
lakukan berkaitan dengan hak orang lain, maka kita harus meminta kehalalan atau
mengembalikannya kepada orang bersangkutan. Apabila orang yang telah kita
zhalimi telah tiada (menginggal), maka kita dapat memberikan hak tersebut
kepada ahli warisnya ata fakir miskin dengan niat dan memohon agar pahalanya
disampaikan kepada orang tersebut.
Tentunya ini
memerlukan waktu yang cukup panjang dan usaha yang maksimal. Oleh karena itu,
untuk memantapkan taubatnya ia harus pindah ke stasion berikutnya yakni
zuhud.
b.
Al Zuhud
Secara harfiah al zuhud berarti
tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedagkan menurut
Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup
kematerian. [8]
Asal kata dari zuhud ialah zahida
yazhadu zuhdan yang artinya membenci sesuatu. Dengan demikian orang
dikatakan zuhud apabila ia mau mempersiapkan diri mencari bekal untuk hidup di
akhirat, berpegang teguh dengan agama, dan terus menerus menjalankan ketaatan
kepada Allah.[9]
Jadi zuhud tidak harus dengan
meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan sikap hati yang tidak terlalu suka
dengan dunia sehingga lupa akan kehidupan akhirat. Banyak orang kaya raya,
namun juga mereka sangat zuhud. Contohnya Nabi Sulaiman, meskipun ia kaya raya,
namun ia dikenal dengan dengan sebutan azhaduz zahidin atau orang yang
paling zuhud diantara orang-orang zuhud. Beliau makan makanan yang sederhana,
sementara dirinya memberikan makanan yang enak kepada rakyatnya.[10]
Beberapa hal bisa dilakukan
seseorang untuk sampai pada maqam zuhud ini, diantaranya:
1)
Menyadari dan menyakini bahwa dunia
ini fana. Pada saatnya manusia akan meninggalkannya. Selain itu ia juga harus
yakin bahwa dirinya pasti akan kea lam baka, yakni akhirat.
2)
Menyadari dan menyakini bahwa
dibelakang dunia ini ada akhirat yang jauh lebih baik bagi orang-orang yang
bertaqwa.
3)
Banyak mengigat mati, agar hati
menjadi lembut dan hidupnya lebih berhati-hati. Sebab setelah meninggal dunia
manusia akan ditanya dan mempertanggung jawabkan semua amal perbuatannya.
4)
Mengkaji sejarah perjalan hidup
para nabi, sahabat, atau orang-orang shalih yang notabene mereka adalah
orang-orang zuhud.[11]
Biasanya, seseorang yang sampai pada maqam ini akan mengasingkan
diri ke tepat terpencil untuk beribadah. Seperti sholat, puasa, membaca Al
Qur’an, maupun berdzikir. Orang tersebut hanya makan dan minum untuk bertahan
hidup saja. Menyedikitkan tidur dan memperbanyak ibadah bahkan pakaian juga
sederhana. Sehingga orang tersebut sudah tidak tergoda oleh dunia. Apabila
orang tersebut sudah keluar dari pengasingannya, namun juga masih tetap
melakukan hal-hal layaknya di tempat pengasingan. Ia tetap berpuasa, melakukan
sholat, membaca AL Qur’an maupun berdzikir maka ia harus melanjutkan ke stasion
berikutnya yakni wara,
c.
Al Wara’
Pada stasion ini, ia akan
dijauhkan oleh Tuhan dari hal-hal syubhat. Kata al wara’ dapat
diartikan sebagai saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Selanjutnya,
dalam pandangan orang sufi, wara’ memiliki arti meninggalkan semua hal yang di
dalamnya mengandung keraguan antara halal atau haram (syubhat).
Syubhat itu sendiri
lebih dekat kapada sesuatu yang haram. Seperti dalam hadis, “Barang siapa
yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari
yang haram.”(HR. Imam Bukhari). Tentunya, bagi salik atau sufi
makanan, minuman, pakaian, ataupun yang lainnya mengandung haram akan
berpengaruh dalam prosesnya menuju Allah. Sebab, orang yang telah mengkonsumsi
hal semacam ini akan keras hatinya, sehingga akan sulit mendapat hidayah dan
ilham dari Tuhan.
Halal, haram, dan syubhat
seperti rambu-rambu lalu lintas. Sungguh tak terbayangkan bagaimana jadinya
jika manusia berjalan di jalan raya yang ramai tidak ada rambu-rambu. Tentu
akan terjadi kekacauan, sebab tidak ada petunjuk mana pertanda yang boleh lewat
duluan dan mana yang harus berhenti. Begitulah pula dengan persoalan makanan
dan minuman, kita juga memerlukan petunjuk rambu-rambu.[12]
Sekarang kita analogikan, lampu
hijau merupakan hal yang halal atau makanan dan minuman yang boleh dimakan.
Kemudian lampu merah sebagai tanda haram, maka kita wajib berhenti, tidak boleh
mengkonsumsinya. Selanjutnya lampu kuning, menjadi tanda dari hal-hal yang
makruh, maka di sini kita harus berhati-hati. Adapun orang yang wira’i pasti
akan lebih memillih berhenti saat lampu kuning sudah menyala. Sedangkan orang
yang nekat, jangankan lampu kuning, lampu merah saja ia terjang. Jangankan syubhat,
haram saja ia konsumsi.
Betapapun sikap wara’ sangat
dianjurkan, namun demikian, jangan sampai seseorang terkena ghurur (tipu
daya), sikap wara’ yang ekstrim. Sebab kadang ada seseorang yang merasa menjadi
seseorang wara’, dia lalu bersikap ekstrim. Semua barang seolah selalu
dipertanyakan kehalalannya. Misalkanya, ada makanan atau minuman yang
jelas-jelas halal, baik zatnya, cara pembuatan atau proses mendapatkannya,
tetapi karena ekstrim (ghuluww) dalam memahami sikap wara’, ia lalu
tidak mau mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut. Sikap wara’ seperti ini
dalam saat yang bersamaan dapat menjebak seseorang bersifat ujub dan riya’. Ini
disebabkan oleh nafsu keegoisan yang mendasari keinginan untuk menjadi orang
wara’.[13]
Sekarang, seseorang harus
menghadapi tantangan kehidupan modern. Tentunya modernitas ini juga membawa
dampak negative. Termasuk di dalamnya, sikap dan gaya hidup yang materialistik
dan hedonistik. Oleh karena itu manusia harus memiliki prinsip yang kuat dalam
hidup. Adapun sikap wara’ ini bisa
menjadi tameng manusia dalam kehiduapn modern ini. Sebab, dengan adanya sikap
ini nanti seseorang akan mempunyai kakuatan batin yang bagus. Untuk menumbuhkan
sikap wara’ juga bisa dengan mengetahui manfaatnya.
Seperti ditulis oleh Muhammad
Luqman Hakim, dalam majalah sufi edisi ke 29 Januari 2004, diantara manfaat
sikap wara’ adalah:[14]
1)
Wara’ menumbuhkan sifat kesatria,
kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positif.
2)
Wara’ akan menjauhkan sifat israf
(berlebihan), egoisme, meterialisme (ambisi materi), dan kesombongan.
3)
Wara’ mendorong seseorang menjadi
hamba Allah yang merdeka dari kepentingan selain Allah, karena hakekat wara’
adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Allah.
4)
Wara’ mengantarkan seseorang untuk
bersikap tulus ikhlas dalam beramal kepada Allah. Karena tanpa wara’, ibadah
kita akan menyimpang dari nilai-nilai keikhlasan.
5)
Wara’ menghilangkan sikap
kepura-puraan, kemunafikan, basa-basi, dan membebaskan dari penjara hawa nafsu
kita.
6)
Wara’ adalah awal dari ketaqwaan
seseorang.
7)
Wara’ akan mengantarkan seseorang
untuk terus menerimamemandang Allah dalam setiap hal yang halal. Sehingga wara’
juga mendorong manusia untuk terus menerima bersyukur, sebab di balik yang di
pandang ada nama Allah.
8)
Wara’ adalah nuansa majelis Ilahi.
Abu Hurairah pernah mengatakan, “orang-orang yang berada di mejelis Allah
adalah ahli wara’ dan zuhud.”
9)
Wara membuat seseorangtidak suka
berbuat dzalim, ia senantiasa berbuat adil, proposional, dan wajar serta
menjauhkan diri dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)
d.
Al Faqr
Secara harfiah
fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin.
Dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada
pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[15]
Kyai
Achmad Siddiq berpendapat bahwa kefakiran ialah tahapan yang penting.
Menurutnya, al faqr ialah selalu menyadari kebutuhan dirinya kepada
Allah. Artinya, seseorang tidaklah memiliki sesuatu yang bernilai atau sesuatu
yang patut dibanggakan di hadapan Allah. Kekayaan, kekuasaan, kepandaian,
bahkan ibadah yang dilakukan selama hidupnya tidak patut diunggulkan atau
dibanggakan di hadapan Allah. Seandainya Allah tidak memberikan belas
kasih-Nya, semua itu tidak akan nilainya sama sekali. Maka sepenuh hati
menyadari akan ketergantungan dengan Allah, setiap saat bahkan setiap detik,
dalam kondisi apapun, inilah yang dimaksud al faqr.
e.
Al Shabr
Setelah menjalani maqam kefakiran,
maka ia akan sampai pada maqam sabar. Sabar di sini bukan sekedar menjalankan perintah-Nya
yang berat dan menjauhi larangan-Nya yang penuh dengan cobaan. Ia harus sabar
menderita, bukan hanya bisa memohon pertolongan akan tetapi ia juga harus sabar
yakni menunggu pertolongan itu.
Banyak pula yang memiliki anggapan
yang keliru terhadap makna sabar ini. Parahnya, orang yang bersikap sabar ini
disamakan dengan orang yang pasif, tidak mau berusaha, dan menunda-nunda dalam
melakukan sesuatu. padahal dalam kesabaran ini ada dimensi kesungguhan,
keuletan, dan profesionalitas. Maka menunda-nunda sholat bukanlah kesabaran
namun kemalasan. Oleh karena itu, kesabaran tidaklah identic dengan sikap
menunda-nunda berbuat kebaikan.
Berdasarkan konteksnya, sabar dapat
dibagi menjadi tiga bagian:[16]
1)
Sabar dalam ketaatan (as shabru
‘ala al Tha’ah).
Hal ini harus dilakukan dengan cara istiqamah
(konsisten dan terus menerus) dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.
2)
Sabar meninggalkan maksiat (as
shabru ‘an al ma’siyyah).
Ini dilakukan dengan cara mujahadah (jihad
spiritual), bersungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu dan meluruskan
keinginan-keinginan yang buruk yang dibisikkan oleh setan.
3)
Sabar ketika ditimpa musibah (as
shabru ‘ala al Mushibah).
Ini dilakukan ketika kita ditimpa musibah atau
kemalangan. Dunia sesungguhnya tempat ujian (dar al imtihan). Allah akan
menguji keimanan seseorang, antara lain dengan ditimpakan nya musibah
kepadanya. Ini bukan berarti Tuhan tidak saying, melainkan sekedar untuk
menguji, sejauh mana kekuatan imannya.
Menurut Ibnu A’jibah, orang sabar jika
diklasifisikan berdasarkan tingkatannya dapat dibagi menjadi tiga:[17]
1)
Sabar tingkatan orang awam.
Seseorang dalam posisi ini akan selalu tabah atas kesulitan-kesulitan dalam
menjalankan ketaatan dan melawan segala bentuk pelanggaran.
2)
Sabar tingkatan orang khusus (khawash).
Seseorang yang masuk dalam tingkatan ini akan bisa menahan hati (tabah) ketika
menjalankan riyadlah dan mujahadah (perjuangan spiritual) dengan
selalu melakukan muraqabah, sehingga dalam hatinya selalu hadir nama
Allah.
3)
Sabar tingkatan khawashul khawas.
Seseorang bisa dikatakan masuk dalam maqam ini bila ia bisa menahan ruh dan
sir agar dapat menyaksikan Allah (musyahadah) dengan mata
hatinya.
Menjadi orang
awam dan masuk dalam level pertama saja sudah bagus. Akan tetapi, kita
hendaknya berusaha untuk meningkatkan kesabaran bahkan sampai level
tertinggi.
f.
Al Tawakkal
Setelah masuk pada stasion al
tawakkal maka ia akan menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak
Tuhan. Oleh karena ia tidak akan berpikir tentang hari esok. Dengan menyerahkan diri ini ia akan merasa
tenang sepenuhnya. Terkadang ia bersikap seolah-olah telah mati.
Secara harfiah tawakkal berarti
menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakal adalah
apabila seorang hamba dihadapan Allah seperti bangkai dihadapan orang yang
memandikanya, ia mengikuti semua yang memandikan, artinya tidak dapat bergerak
dan bertindak. [18]
Lebih lanjut, Al Qusyairi
berpendapat bahwa tawakkal tempatnya ialah ada di dalam hati. Adapun gerakan
tubuh (perbuatan) tidaklah mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati tersebut.
Sehingga akan timbul keyakinan bahwa semua yang terjadi merupakan takdir dari
Allah.
Pendapat tersebut dikuatkan oleh
Harun Nasution yang mengatakan bahwa tawakkal ialah menyerahkan diri kepada
qada dan keputusan Allah. Misalkan orang tidak mau makan, karena ada orang yang
lebih membutuhkan dari pada dirinya.
Bertawakkal termasuk perbuatan yang
diperintahkan oleh Allah. Dalam firman-Nya, Allah menyatakan :[19]
Artinya: “…. dan hanya kepada Allah orang-orang
yang beriman harus bertawakal." (QS. At Taubah: 51)
Artinya: “…. Dan bertakwalah kepada
Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus
bertawakkal.” (QS. At Maidah: 11)
g.
Al Ridla
Secara harfiah ridha artinya rela,
suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak
menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar dengan senang hati.
Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya
perasaan senang dan gembira. Mereka senang menerima malapetaka sebagaimana
merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta
dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya sebelum turunnya kada
dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kada dan kadar,
malahan perasaan cinta bergelora di
waktu turunnya bala’(cobaan yang berat).[20]
Seseorang yang memiliki sikap ridha
bukan berarti ia meninggalkan usaha (ikhtiar). Karena hal semacam ini
bisa mengakibatkan sikap yang fatal dan membuat orang tersebut pasif. Saat
ditimpa musibah, orang yang ridha ini akan merasakan pedih atau sakit. Namun ia
lebih yakin bahwa setelah musibah ini pasti akan mendapatkan hasil yang lebih
baik yakni kebahagiaan. Seperti orang yang sakit, ia harus disuntik, orang
tersebut pasti merasakan sakitnya jarum, namun ia rela disuntik karena sangat
yakin setalah disuntik itu ia akan sembuh.
Ridha biasanya berkaitan dengan
hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti seseorang sedang tertimpa musibah:
ibunya meninggal dunia, hartanya dicuri maling, anaknya meninggal sewaktu masih
kecil, dan lain sebagainya. Maka ridha ini merupakan salah satu sifat yang amat
mulia. Tentunya kedudukannya lebih tinggi dari pada sabar. [21]
Itulah sebabnya Nabi juga
mengajarkan doa kepada para sahabat agar menjadi pribadi-pribadi yang memiliki
sifat ridha. Beliau bersabda: “Barang siapa yang berdoa setiap pagi dan sore
dengan membaca doa radhitu billahi rabba wa bil islami dina wa bi muhammadin
rasula” aku ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agamaku, Muhammad
sebagai rasul”. (HR. Abu Dawud) [22]
Dalam hadis Qudsi, Nabi menegaskan:
“sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selai Aku. Barang siapa yang tidak
bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela
terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong langit dan cari
Tuhan selain Aku.”
Beberapa hal bisa kita lakukan
untuk mencapai stasion ini, diantaranya:
1) Ketika ditimpa
musibah, yakin dan sadar bahwa Allah sedang menguji dan ujian ini ialah bentuk
kasih sayang dari-Nya. Rela menerima ketika ditimpa musibah bukan berkeluh
kesah.
2) Yakin akan
hikmah adanya musibah tersebut. Hikmah tersebut bisa diketahui dengan melakukan
munasabah atau intropeksi diri. Bukan sekedar rela akan musibah yang
telah diberikan oleh Allah.
3.
Macam-macam Ahwal
a.
Khauf
Khauf dalm kajian
tasawuf yakni perasaan takut karena dihantui oleh dosa serta ancaman yang akan
menimpanya. Dengan begitu, orang tersebut akan senantiasa melakukan dzikir dan
berdoa agar terlindung dari adzab-Nya. Ketika rasa takut ini telah menetap
dalam dirinya, maka ia akan bisa mengendalikan nafsu. Rasa takut ini sangat
berperan dalam diri seseorang, sebab bisa menjadikan dirinya senang dan damai.
b.
Tawaddu’
Tawaddu’ artinya
rendah hati. Tawaddu’ yang sebenarnya ialah kerendahan dari seorang
hamba terhadap kebenaran dan kuasa-Nya. Namun juga merupakan bentuk tawaddu’
dengan merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan bersikap lemah lembut
terhadapnya.
Sikap rendah hati bentuk usaha
untuk menghindari diri dari sifat tamak dan sombong. Syaikh al Islam
Abdullah al Ansari mengatakan tawaddu’ mempunyai tiga tahap, yaitu:
1)
Tawaddu’ kepada
agama,yaitu dengan tidak menentangnya dengan pemikiran dan penukilan, tidak
menolak dalil agama, dan tidak berpikir untuk menyangkalnya.
2)
Meridhai seorang muslim
sebagai suadara sesama hamba Allah meredhai dirinya, tidak menolak kebenaran
sekalipun datang dari pada musuh dan menerima permohonan maaf daripada orang
yang meminta maaf.
3)
Tunduk kepada kebenaran (Allah)
dengan melepaskan pendapat dan kebiasaan dalam mengabdi tidak melihat hak dalam
mu’ammalah.
c.
Taqwa
Taqwa artinya ialah
pemeliharaan diri. Sifat ini ditujukan utuk orang yang patuh, taat, dan sabar
terhadap perintah Allah serta memelihara dirinya dari perkara-perkara yang
buruk. Dapat dipahami pula, taqwa secara umum ialah memelihara diri dan
tetap menjaganya dengan melaksanakan ketaatan dan amal shalih.
Pemeliharaan semacam ini akan
menghasilkan nilai positif. Ia akan memiliki keadaan psikologi yang lembut. Kemudian
nilai ketuhanan yang kukuh. Selain itu, ia juga akan merasakan ketenangan dan
kebahagiaan. Sikap taqwa ini akan melahirkan sikap adil dan berlaku
benar. Bahkan ia juga amanah dan mempunyai hubungan baik dengan lingkungan
sekitar.
d.
Ikhlas
Hakikat ikhlas adalah al tabarri
‘an kulli ma dunallah, bebas dari apa yang selain Allah. Artinya, seseorang
beribadah hanya mengharap ridha Allah, bukan hanya karena mengharap pujian
makhluk. Satu hal yang perlu dipahami bahwa ikhlas berkaitan erat dengan niat
dalam hati seseorang ketika beribadah. Ikhlas yang sempurnya harus dilakukan
baik sebelum, sedang, dan sesudah beribadah. Sebab ada orang ikhlas ketika
beribadah, tetapi setelah itu ia terjebak dalam sikap riya’ (pamer),
maka rusaklah nilai ibadahnya.[23]
Adapun hal-hal yang dapat merusak
keihklasan antara lain:[24]
1)
Bersikap riya’, yaitu
memamerkan amal ibadah karena ingin mendapat pujian dari orang lain. Al Qur’an
mencela orang yang beribadah tetapi suka pamer (riya’). Allah berfirman:
“ (QS. Al Ma’un: 4-6). Berbeda dengan jika kita menceritakan amal ibadah kita
dengan maksud untuk memberi keteladanan dan mensyukuri nikmat Allah. Misalkan
setelah pulng dari haji kita menceritakan tentang bagaimana nikmatnya ibadah di
Mekkah. Hal ini dimaksudkan agar mereka yang kita ajak berbicara termotivasi
untuk segera menunaikan ibadah haji.
Adapun ciri-ciri riya’ menurut
Sayyidina Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad al Syamarqandi dalam
kitab Tanbihul Ghafilin (hlm. 5), antara lain:
a.
Malas beribadah jika
sendirian(tidak dilihat orang lain)
b.
Tampak semangat beribadah atau
berbuat baik jka disaksikan orang lain.
c.
Menambah ibadahnya jika dipuji.
d.
Dan mengurangi ibadahnya jka tidak
dipuji (atau dicela).
Obat dari
penyakit ini yakni hanyalah kesadaran diri yang amat tinggi bahwa setiap
perbuatan , ibadah kita dilihat oleh Allah. Ia tidak akan luput sedikitpun.
2)
Bersikap ‘ujub, yaitu
mengagumi kehebatan ibadah dalam hati, meskipun hal ini tidak diceritakan
kepada orang lain. Contoh, orang dapat elakukan sholat dengan berjamaah atau
tahajud dengan istiqomah. Lalu dalam hatinya muncul sifat ‘ujub. Dalam
hati berkata, “ah tidak ada orang sehebat sayadalam hal shalat berjamaah atau
tahajud”. Sikap ini dapat diobati dengan cara yang sama pada sifat riya’,
yakni kesadaran. Sadar bahwa ia tidak dapat beribadah seperti itu kecuali atas
pertolongan Allah.
3)
Merasa puas terhadap amal ibadah
dan tertipu olehnya. Ini juga dapat merusak keikhlasan dalam beribadah. Sikap
seperti ini hanya bisa sembuh dengan cara mengetahui cacat (aib) yang ada dalam
amal perbuatan. Karena sangat sedikit sekali suatu perbuatan yang benar-benar
bisa yang bisa selamat dari bisikan setan. Oleh sebab itu seseorang tidak boleh
merasa puas dengan amal ibadahnya. Melainkna harus merasa ada yang kurang dalam
ibadahnya, sehinga muncul sikap taubat dan upaya yang terus menerus untuk
memperbaki kualitas ibadahnya.
4)
Ingin dipuji dan ingin popular.
Orang yang memiliki dua sifat seperti ini sulit untuk beramal dengan ikhlas.
Pada saat yang bersamaan ia juga takut dicela oleh orang lain. Dia beramal
karena manusia, bukan karena Allah.
Menurut Ibnu
‘Ajibah sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir ‘Isa dalam kitab Haqiqah
Tashawwuf (hlm. 256-257), ikhlas dapat diklasifikasikan menjadi tiga
bagian:
1)
Ikhlas tingkatan orang awam. Ia
beribadah karena Allah, tetapi masih disertai dengan mencari keuntungan duniawi
dan ukhrowi. Misalkan, ingin agar badannya sehat, hartanya banyak, dan
mendapatkan pahala, bidadari serat surge di akhirat.
2)
Ikhlas tingkatan orang khusus.
Seseorang akan beribadah hanya semata-mata untuk mencari untuk keuntungan
akhirat. Tidak ada motivasi sedikitpun untuk mencari keuntungan duniawi. Naum,
di dalam hatinya masih ada keinginan untuk memperoleh pahala, surge, bidadari,
dan lain sebagainya.
3)
Ikhlas tingkatan khawashul
khawash. Orang hanya beribadah kerena ingin ridhanya Allah. Ia beribadah
atas dasar rindu dan cinta kepada Allah.
Tingkatan
ketiga inlah yang banyak dicari oleh para sufi. Sebagaimana tampak dalam syair:
“Tujuan ibadah mereka bukanlah mencari surge ‘Adn, tidak pla mencari
bidadari yang cantik jelita, dan kemah-kemah yang indah mempesona. Tuuan mereka
adalah memandang Dzat yang Maha Agung semata, inilah tujuan mereka.”
e.
Syukur
Imam Ibnul Qoyyim, mendefinisikan
syukur ialah kecondongan hati untuk mencintai kepada Dzat yang memberi
kenikmatan. Anggota tubuhnya condong tergerak untuk taat kepada-Nya, lidahnya
selalu mengingat dan memuji-Nya.
Sementara itu, Ibnu ‘Ajibah
berpendapat bahwa syukur adalah senangnya hati seseorang atas kenikmatan yang
ia peroleh, lantas anggota tubuhnya tergerak untuk taat kepad yang memberi
nikmat, disertai sikap pengakuan kepada Dzat yang memberi nikmat dengan tundik
kepada-Nya.
Dengan kata lain, syukur adalah
berterima kasih kepada Allah sebagai Dzat yang memberi nikmat, yang dibuktikan
tidak saja dengan hati dan ucapan, tetapi juga dengan tindakan. Seseorang yang
pandai bersyukur akan menggunakan seluruh anugerah Tuhan untuk hal-hal yang
mendatangkanridha-Nya.
Manusia pada umumya cenderung kufr
al nikmah (mengingkari nikmat Allah). Padahal Allah SWT telah memberikan
nikmat yang tak terhingga kepadanya. Manusia yang pandai bersyukur akan
ditambah nikmatnya oleh Allah. (lihat QS. An Nisa’: 147).
Allah telah berfirman, “ Seandainya
kalian mau menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu
menghitungnya”. (QS. Ibrahim: 34). Nikmat Allah jika dilelompokkan
berdasarkan sifatnya, maka paling tidak dapat dibagi menjadi tiga macam:
1)
Nikmat Duniawi, seperti kesehatan,
harta yang halal, kekuatan, dan lain sebagainya.
2)
Nikmat Diniyyah, seperti amal
shalih, ilmu, taqwa, iman, ma’rifat kepada Allah, dan lain sebagainya.
3)
Nikmat Ukhrawi, semisal berupa
pahala atas amal shalih yang sedikit, tetapi balasannya sangat besar, yaitu
surge dengan segala macam kenikmatannya.
Semua nikmat
Allah itu wajib disyukuri. Dan yang paling penting untuk disyukuri adalalh
nikmat Islam, iman, dan ma’rifah depada Allah. Agama Islam diturunkan oleh
Allah pada manusia agar dijadikan jalan hidup baginya dalam mengarungi
kehidupan.
Syukur berdasarkan caranya, manurut Abdul
Qadir Isadapat dibagi menjadi tiga macam: [25]
1)
Al Syukru bi lisan, bersyukur
dengan ucapan, misalkan dengan mengucapkan kalimat Alhamdulillah, atau al
tahaduts bin nikmah (menceritakan nikmat-nikmat Allah yang selama ini
diberikan kepada kita semua). Maka menyembunyikan nikmat Allah termasuk kufr
bi nikmah.
2)
As Syukru bil Arkan, bersyukur
dengan melakukan amal shalih dan berbagai macam perbuatan terpuji. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan oleh rasul SAW. dimana setiap malam beliau rajin
sholat tahajjud (qiyamul lail). Sampai kedua telapak kakinya bengkak.
3)
As Syukru bil Janan, bersyukur
dengan hati, yakni bersaksi bahwa setiap nikmat yang ada pada diri seseorang
adalah anugerah dari Allah SWTG. Denga demikian, jangan sampai seseorang ketika
menerima berbagai kenikmatan dari Allah, ia malah menutup matauntuk menyaksikan
Dzat yang memberikan nikmat, Allah SWT. Sebagai seorang mukmin, kita perlu
memohon kepada Allah SWT, semoga selalu diberikan pertolongan untuk selalu
dapat mensyukuri segala kenikmatan dan memuji-Nya.
Orang
bersyukur memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:[26]
1) Tingkatan
orang umum (awamm). Ia bersyukur ketika mendapat nikmat saja. Tingkatan ini
diibaratkan seperti anak kecil yang hanya mau berterima kasih ketika diberi
sesuatu yang menyenangkan.
2) Tingkatan
orang khusus (khash). Ia bersyukur tidak hanya ketika diberi nikmat,
tetapi juga ketika diberi cobaan bancana atau musibah. Baginya musibah atau
bencana dan nikmat itu sama-sama ujian dari Allah. Cobaan dari Allah dianggap
sebagai bentuk kasih saying dari-Nya. Nabi saw. bersabda: apabila Allah
mencintai hamba-Nya, maka Dia akan mengujinya, karena ingin mendengar
rintihannya. (HR. al Baihaqi dan al Dailani).
3) Tingkatan
orang khawashul khawash. Dia bersyukur bukan karena mendapat nikmat,
melainkan karena melihat al mun’im (Dzat yang memberi nikmat). Dalam
kitab risalah al Qusyairiyyah (hlm. 81), Syeikh Syibli seorang sufi besar
(semoga Allah merahmatinya) pernah berkata: “as syukru ru’yatul mun’im la
ru’yatul ni’mah.” Artinya: bersyukur itu karena melihat Dzat yang memberi
nikmat, bukan karena nikmat itu sendiri.
f.
Mutmainnah
Mutmainnah atau
ketenganan merupakan keadaan batin yang selalu tenteram karena selalu dekat
dengan Allah. Menurut ‘Abdullah al Ansari mutmainnah dapat dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu:[27]
1)
Mutmainnah hati karena menyebut
nama Allah. Ini merupakan mutmainnah yang takut beralih kepada harapan
daripada kegelisahan kepada hukum dan daripada cobaan kepada pahala.
2)
Mutmainnah yaitu ketika
mencapai tujuan pengungkapan hakekat, saat merindukan janji dan saat berpisah untuk
berkumpul kembali,
3)
mutmainnah karena
manyaksikan kasih sayang Allah, mutmainnah kebersamaan menuju baqa’ dan
mutminnah kedudukan menuju cahaya azali.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Uraian di atas tadi dapat kita
ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Maqamat dalam tasawuf
ialah jalan yang yang dilalui oleh salik menuju kehadhirat Allah SWT. Perbedaan
pendapat terjadi dalam hal ini. Ada yang mengatakan jalan atau maqam yang harus
dilalui berjumlah tujuh. Namun juga ada yang mengatakan harus melalui sepuluh
tahap. Namun demikian, ada kesepakatan dari para sufi mengenai tahapan yang
harus dilalui. Jumlah maqam yang harus dilalui ialah tujuh, yakni al-taubah,
al-zuhud, al wara', al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla.
2. Ahwal atau hal sebagai
bentuk keadaan jiwa dari para sufi juga terjadi perbedaan pendapat. Tidak ada
jumlah atau kesepakatan yang pasti dalam hal ini. Sebab, ahwal adalah
keadan jiwa dari seseorang salik. Diantara ahwal tersebut yakni khauf,
tawaddu’, taqwa, ikhlas, syukur, dan mutmainnah.
B.
Saran
Agar pembaca dapat mengetahui lebih
jelas dan lebih luas tentang pembahasan pada makalah kami, alangkah baiknya
jika pembaca mencoba membaca materi-materi Tasawuf yang terkait pambahasan yang
lebih banyak khususnya selain dari referensi kami. Misalkan, Akhlak Tasawuf
karya A. Khoiri, Akhlak Tasawuf karya M. Solihin dan R. Anwar, Akhlak Tasawuf
karya A. Mas’ud, dan sebagainya.
C.
Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan mengenai materi tentang Maqamat
dan Ahwal dalam Tasawuf. Tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahan, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi atau rujukan
yang kami peroleh. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Kami juga banyak berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran
yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Sekian penutup dari
kami semoga dapat diterima dan kami mengucapkan terima kasih.
4 Komentar
buat no tapi gak ada referensinya
BalasHapusHahaha... ada donk, tapi sengaja tidak saya cantumkan..
BalasHapusdicantumin aja mas note nya, bermanfaat dunia akhirat jadi amal jariyah buat yang membutuhkan ...hmm
BalasHapush
BalasHapus