Mbah Ma'shum Lasem


RESENSI
Mbah Ma’shum Lasem
“The Authorized Biography of KH. Ma’shum Ahmad”


Keterangan Buku:
Penulis                         : Muhammad Luthfi Thomafi
Jumlah Halaman          : 278 halamn
Kota Terbit                  : Yogyakarta
Penetbit                       : LKIS Group
Tahun Terbit                : 2012 M


ASAL USUL KELUARGA
Nama asli beliau adalah Muhammadun. Lahir diperkirakan di Lasem pada tahun 1290 H atau 1870 M. Ayahnya bernama Ahmad. Adapun ibunya belum dapat dipastikan, ada yang mengatakan Qosimah dan ada yang mengatakan Ruqoyyah. Oleh karena itu, silsilah beliau dapat diketahui dari sang ayah yaitu: Muhammad Ma’shum bin Ahmad bin Abdul Karim bin Muzahid dan seterusnya hingga Sultan Mahmud alias Sultan Minangkabau. Dapat diketahui dari garis ini pula bahwa beliau keturunan Arab-Yaman, bermarga asy Syaibani. Mbah Ma’shum memiliki dua orang kakak, yaitu Nyai Zainab , dan Nyai Malichah.

PENGEMBARAAN ILMIAH
Guru – guru Mbah Ma’shum yaitu Kiai Ahmad bin Abdul Karim, ayahnya sendiri. Kemudian Kiai Nawawi di Mlongo, Jepara. Setelah itu berguru kepada Kiai Abdullah di Kajen. Kiai Abdussalam di Kajen juga guru beliau setelah Kiai Abdullah. Selanjutnya berguru kepada Kiai Siroj di Kajen juga. Selesai di Kajen beliau berguru kepada Kiai Umar bin Harun di Sarang. Kemudian kepada Kiai Ma’shum di Damaran Kudus. 

Lalu berguru kepada Kiai Syarofuddin di Kudus. Selanjutnya beliau pergi ke Semarang berguru kepada Kiai Ridwan. Pindah dari Semarang, beliau berguru kepada Kiai Idris di Jamsaren Solo. Setelah itu ke Termas kepada Kiai Dimyati at Turmusi. Kemudian berguru kepada Kiai Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng. Selanjutnya kepada Kiai Kholil Abdul Latif di Bangkalan. Terakhir berguru kepada Kiai Mahfudz at Turmusi di Makkah.

RUMAH TANGGA
Menikah pertama kali dengan seorang perempuan dari desa Sumber Girang Lasem. Namun tidak diketahui secara pasti nama maupun waktu pernikahan beliau. Terjadi perbedaan pendapat tentang nama. Ada empat nama yang bebeda, yakni Maslahah binti Kiai Mustofa Lasem, Muslichatun binti Kiai Mustofa  Sumber Girang Lasem, Malichatun binti Kiai Mustofa Sumber Girang Lasem, Roudhoh binti Kiai Mustofa Sumber Girang Lasem.

Menikah yang kedua dengan Mbah Nuriyah binti KH. Zainuddin bin KH. Ibrahim bin KH. Abdul Latif bin Mbah Joyotirto bin Mbah Abdul Halim bin Mbah Sambu. Ibu Mbah nuriyah bernama Nyai Mashfuriyah bin KH. Abdul Aziz bin KH. Abdul Latif bin Mbah Joyotirto bin Mbah Abdul Halim bin Mbah Sambu.

Adapun putra-putri dari Mbah Ma’shum dengan Mbah Nuri berjumlah 13 anak. Delapan dari anak mereka wafat ketika masih kecil. Mbah Ma’shum membekali keagamaan putra-putrinya ketika usianya masih kecil.

PETUALANGAN SANG PEDAGANG
Setelah menikah, beliau mengikuti profesi ayahnya yakni bedegang. Beliau adalah orag yang sederhana, tidak banyak keinginan duniawi yang ingin diraih. Mbah Ma’shum memiliki asas nrimo (menerima) dalam hal makanan secara khusus maupun rezeqi secara umum.

Pernah beliau menjual baju grito (baju bayi), nasi pecel, dan petromaks. Selain berdagang beliau juga pernah bekerja di tempat pembakaran dan pembuatan batu bata (putih)  di daerah selatan Babat, di Desa Suwireh-utara daerah Ngimbang. Sambil berdagang beliau juga mengajarkan ilmunya kepada masyarakat sekitar pasar Ploso, Jombang. Selain itu, secara periodik Mbah Ma’shum juga sering ke Tebu Ireng untuk mengaji kepada Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU.

MENDIRIKAN PESANTREN DAN MENGURUSI SANTRI
Diawali dengan bermimpi dengan Nabi Muhammad SAW yang saat itu memberi ungkapan :
لاَ خَيْرَ اِلاَّ فِيْ نَشْرِ الْعِلْمِ
Artinya: “Tidak ada kebaikan kecuali menyebarluaskan pengetahuan”.

Nabi SAW berpesan “Mengajarlah..., dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan terpenuhi semuanya oleh Allah SWT...”. Sebelum beliau membangun pesantren, beliau sowan ke beberapa makam antara lain makam Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alatas, Pekalongan. Kebanyakan pesantren saat memulaikan mendirikan pesantren adalah memberikan pelajaran-pelajaran dengan mengambil tempat di mushola yang telah ada. Ukuran bangunan pada zamannya, bangunan itu cukup maju. Terbuat dari tembok, sekitar 20 X 7 meter. Terdiri dari 2 lantai yakni lantai pertama untuk mengaji dan lantai kedua untuk kamar para santri. Pada waktu itu baru 26 santri.

Mbah Ma’shum adalah orang yang sangat istiqomah dalam mendidik santrinya. Mulai dari membangunkan tidur, memimpin jama’ah hingga melaksanakan pengajian-pengajian. Beliau juga suka mengunjungi santri-santrinya, mulai yang tinggal di Lombok hingga Sumatra.

Cara mengajar yakni sistem Bandongan dan Sorogan. Sistem Bandongan  adalah pengajian terbuka yang diikuti seluruh santri, sedangkan Sorogan yakni santri membaca kitab kuning satu-persatu. Kitab-kitab yang diajarkan Mbah Ma’shum antara lain; Tafsir al-Jalalain, Alfiyah, Jurumiyah, ‘Imrithi, Fathul-Wahhab, Bulughul-Maram, Fathul-Qarib, Riyadush-Sholihin, dan masih banyak lagi.

PERAN KEBANGSAAN DAN NASIONALISME
1.      Berjuang Bersama Komunitas NU
2.      Bergerak Melawan Komunisme

HUBUNGAN KEMANUSIAAN
Beliau mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada saat itu. Prinsip hubungan kemanusiaan Mbah Ma’shum yakni senantiasa menjaga dan memperhatikan relasinya sebagai menusia dengan berbagai eksponen baik itu keluarga, guru, santri, umat, dan elemen bangsa. Beliau juga pemerhati problem kaum miskin. Selain itu, Mbah Ma’shum juga ahli dalam silaturrahim. Mbah Ma’shum meninggalkan perdagangan dan konsisten dalam mengajar. Beliau berkeinginan untuk serius, konsentrasi, dan fokus terhadap niat besarnya yakni nasyrul ‘ilmi.

KONTEKSTUALITAS PEMIKIRAN
Pemikiran Mbah Ma’shum tidak berbeda dengan pemikiran ulama’ atupun kiai pada umumnya. Beliau sangat teguh memegang syari’at dan secara spesifik fiqh Imam Syafi’i. 

WARISAN MBAH MA'SHUM
Beliau hanya meninggalkan pondok pesantren dan berbagai pesan spiritual. Seperti di tahun akhir hayatnya, beliau berpesan kepada santrinya Harir untuk membaca ayat 37 dari surat al Fatir. Selama beberapa bulan dan setiap malam ayat itu dibaca secara berulang – ulang. Perintah itu turun karena Mbah Ma’shum merasa mendengarkan keluhan orang – orang yang ada di neraka.

Kesehatan Mbah Ma’shum turun secara drastis. Sejak tanggal 14 Robi’ul Awal 1392 H/ 28 April 1972 M. Hal ini terjadi selama beberapa bulan, tepatnya hingga September. Pada tanggal 17 September 1972, atas prakarsa dan dorongan serta tanggungan dari Subhan ZE, Mbah Ma’shum dibawa ke rumah sakit dr. Karyadi Semarang. Kemudian, beliau memutuskan pulang ke Lesem, karena mungkin lebih mementingkan santrinya dari pada kesehatannya. Sebulan setelah itu, pada tanggal 20 Oktober 1972 M, beliau masih sempat melaksanakan shalat Jum’at, dan kembali ke ndalem. Setelah itu beliau wafat pada hari itu, jam 2 siang dan berpesan agar makamnya dibuat seperti makam Habib Ahmad bin Tholib bin Abdullah Pekalongan. Pagi harinya, Sabtu 12 Ramadhan 1932 H/ 20 Oktober 1972 M, jenazah dimakamkan di pemakaman Masjid Jami’ Lasem jam 14.30.

Wafatnya seorang kiai agung, pemandangan kota Lasem, khususnya di sekitar kediaman Mbah Ma’shum hingga masjid Jami’, sudah lazim ribuan pelayat dari berbagai golongan telah menanti jenasah untuk memberi penghormatan terakhir. 

Posting Komentar

0 Komentar